BANDUNG, WR- Ini yang tidak banyak dipahami orang. Dikiranya kesuksesan diraih dengan mudah. Seolah sim salabim jadi walikota Bogor seperti Bima Arya Sugiarto.
Tidak. Doktor ilmu politik dari Australian National University (ANU), Canberra ini meraih impian dengan susah payah. Bahkan dengan kegetiran hidup yang dramatik.
“Hidup itu up and down. Saya mengalaminya saat ayah saya meninggal. Padahal saat itu saya lagi kuliah S2,” papar Bima Arya dalam tayangan Jendela Dede Yusuf.
Bima menyebut ayahnya meninggal setelah terkena kanker. Saat itu ayahnya seorang brigadir jenderal polisi. “Semuanya berubah. Aset-aset tanah dijual. Uang cash sudah tidak ada lagi,” jelasnya.
Bima saat itu jadi dosen di Universitas Paramadina Jakarta. Harus menghidupi istri, menanggung ibu dan saudaranya. “Handphone istri dijual sehingga HP ganti-gantian pakai,” ucapnya.
Bahkan sering dia tidak bisa mengajar ke Jakarta karena tidak bisa beli tiket bis dari Bogor. “Saya ditelepon orang kampus, Pak Bima nggak ngajar? Saya jawab lagi sakit. Padahal sebenarnya tidak ada uang untuk naik bis,” katanya.
Usai lulus S2 dari Melbourne University, tokoh muda PAN ini melanjutkan kuliah S3 ilmu politik di ANU. Dengan beasiswa. Di situlah titik-titik nadir bertahan hidup kembali diuji.
Darah aktivis membuat Bima tidak menyerah. Living cost dari uang beasiswa sebagian dikrim untuk ibu dan saudaranya di Bogor. Kekurangannya dia bekerja apa pun di Australia.
“Saya menyebutnya taichi. Padahal sebenarnya mengelap mobil. Bangun jam tiga dinihari, saya mengelap ratusan mobil,” jelas Bima. Begitulah yang dilakukan sosok kelahiran Bogor 17 Desember 1972 ini.
Dari jasa mengelap mobil itulah dia bisa bertahan hidup di Negeri Kanguru. Bahkan menopang aktivitasnya sebagai ketua PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di Australia.
“Saya ini kan banyak maunya. Susah hidup tapi saya jadi ketua PPI. Saya harus keliling berbagai kota untuk koordinasi,” tandasnya.
Bukan cuma mengelap mobil. Ada sejumlah pekerjaan kasar lain yang dilakukan Bima di Australia. Bikin kita yang mendengarnya perasaan jadi meleleh. Ingin tahu seperti apa? Tonton sampai selesai podcast dari Jendela Dede Yusuf.
Dalam Part II berjudul Jangan Ambisius Pindah Ibukota ini, host Dede Yusuf berhasil menggiring pemirsa mengetahui daya juang, impian, dan strategi Bima dalam mewujudkan cita-cita politiknya.
Yang serius membahas program Presiden Jokowi untuk memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Timur. Sementara soal target politik Bima ke depan adalah kursi Gubernur.
“Gubernur Jabar atau DKI,” tanya Dede. Apa jawaban spontan Bima? Bisa disaksikan di Jendela Dede Yusuf. (R-03)