BANDUNG, WR- Motivator terbaik Indonesia Ary Ginanjar tiba-tiba satu panggung dengan Dede Yusuf Macan Effendi. Tampak berbincang hangat dan saling mendukung.
Keduanya tampil di depan para guru dari Kabupaten Bandung. Tajuk acaranya Workshop Pendidikan: Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas Guru. Program dari Kemendikbud Ristek tersebut digelar Jumat (22/10/2021), di Grand Pasundan Hotel.
Di awal acara Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf bicara soal para guru honorer yang ikut tes ASN lewat program P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Dari 9.000 pendaftar dari kabupaten Bandung, cuma sekitar 270 yang lolos dan mendapat SK (surat keputusan).
“Ada yang lulus tapi tidak lolos. Belum lagi yang tidak lulus dan tidak lolos. Ini akan kita perjuangkan nanti agar pada tahap berikutnya bisa lolos,” kata mantan wakil Gubernur Jabar ini.
Dede banyak menerima masukan dan temuan soal tes P3K. Ada soal ambang batas nilai kelulusan (passing grade), usia guru honorer, lama pengabdian, materi soal ujian, afirmasi difabel, dan kesalahan input data seperti NIK (nomor induk kependudukan).
“Saat rapat kerja dengan Mendikbud Ristek akan kita sampaikan temuan-temuan lapangan ini,” kata Dede yang lagi masa reses di dapil Jabar II (Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat).
Ary Ginanjar mengaku bisa merasakan kegalauan para guru yang tidak lolos tes P3K. Sebab, dirinya pernah jadi guru dan tujuh tahun tidak diangkat-angkat sebagai ASN.
“Saya mengajar di Politeknik Universitas Udayana,” kata pria kelahiran Bandung, 24 Maret 1965.
Pendiri ESQ Business School ini lantas berbangga saat dirinya diangkat jadi PNS. Tapi kebanggaan itu cuma berumur seminggu. “Saya memutuskan keluar dari PNS. Mengembalikan SK yang tujuh tahun justru saya nantikan,” paparnya.
Sempat bekerja di sebuah perusahaan sampai kemudian memutuskan kembali ke dunia pendidikan dengan pelatihan ESQ. “Sudah seperempat abad saya jadi guru lewat ESQ,” kilahnya.
Di depan lebih 120 guru, tokoh transformasi budaya kerja perusahaan ini menyampaikan lima tantangan dunia pendidikan saat ini. Yang pertama paling gawat dan mengancam eksistensi guru.
Yakni, semua bahan ajar kurikulum saat ini tersedia di internet seperti Google, YouTube, dan E-course. “Murid bisa lebih dulu tahu. Bahkan lebih pintar dari gurunya. Terbukti banyak yang usia 14-16 tahun bisa lulus universitas berkelas dunia,” ungkap Ary.
Tantangan kedua, generasi Z dan post G melek teknologi. Sementara para guru terkadang ketinggalan. Ketiga, industri 4.0 memerlukan kreativitas, inovasi, dan berpikir kritis. Di sebagian orang sudah muncul anggapan sekolah tidak diperlukan lagi.
Keempat, pendidikan belum menyentuh aspek manusia seutuhnya. Yang dikejar baru IQ (kematangan intelektual) yang porsinya cuma 10-20 persen. Sementara aspek EQ (kematangan emosional) seperti kegigihan, kejujuran, kerja sama, empati, keyakinan diri, dan kreativitas yang 80 persen justru jarang diajarkan. Apalagi aspek SQ (kematangan spiritual).
Kelima, guru makin menghadapi tantangan berat karena pendidikan kita masih menggunakan metode konvensional.
“Menteri baru keluarkan konsep merdeka belajar. Saya tahu maksudnya tapi tidak ada kompetensi para guru,” katanya.
Merdeka belajar, lanjut Ary, sejatinya sama dengan metode coaching di ESQ. Yakni mengeluarkan potensi diri. “Keluar sendiri tanpa harus diceramahi” tandasnya.
Merdeka belajar akan tercapai jika ada pelatihan coaching dan sertifikasi bagi para guru. “Kalau itu dilakukan maka tidak ada masalah gonta ganti menteri. Atau ganti menteri ganti kurikulum. Ganti kebijakan. Tidak masalah sama sekali karena para guru telah dibekali kualifikasi coaching,” jelas tokoh pendidikan karakter bernama lengkap Ary Ginanjar Agustian ini. (R-03)