BANDUNG, WR- Pengurus Besar IDI (Ikatan Dokter Indonesia) berkirim surat ke Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. Yang dipersoalkan adalah biaya kuliah kedokteran yang sangat mahal.
Namun, surat PB IDI pada 10 Februari 2022 tersebut tidak mendapat jawaban Mas Menteri. Seperti dijelaskan ketua umum PB IDI Slamet Budiarto, (18/5/2022), Mendikbud Ristek tidak merespons problematika biaya kuliah kedokteran baik S1, spesialis, maupun pasca sarjana yang makin tidak terjangkau.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi akhirnya turut merespons masalah tersebut. Menurut dia, tidak semestinya pertanyaan PB IDI tidak mendapat penjelasan dari Kemdikbud Ristek.
“Menteri mustinya tanggap akan hal hal seperti ini. Dan meminta investigasi atas penyebabnya,” ucap Dede yang di Senayan sebagai pimpinan komisi yang menjadi mitra Kemdikbud Ristek.
Politikus Partai Demokrat dari dapil Jabar II (Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat) ini minta Nadiem mencari jalan keluar agar biaya pendidikan kedokteran tidak mahal. Perlu dicari hal yang membuat apa yang biayanya menjadi mahal. Dan makin sulit terjangkau. Apalagi bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah.
“Apakah karena biaya praktik. Atau apakah pendidikan dokter semahal itu di luar negri. Atau apakah kualitas dokter yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. Apapun itu harus dicari jalan keluar agar biaya pendidikan dokter tidak mahal,” ujar Dede yang juga lima tahun menjadi ketua Komisi IX DPR yang bermitra dengan Kemenkes.
Kondisi tersebut paradoks karena Indonesia masih kekurangan tenaga dokter. Apalagi kita punya pengalaman pandemi Covid-19. Fakta menunjukkan Indonesia masih kekurangan dokter di berbagai daerah.
“Karena sampai saat ini kita masih kekurangan dokter di berbagai daerah. Bahkan banyak Puskesmas di daerah 3T (terluar, terpencil, tertinggal) yang tidak punya dokter tetap,” kata Dede.
Seberapa mahal kuliah di kedokteran? Berikut hasil penelusuran yang Warta Rancage untuk sejumlah kampus di Bandung Raya.
Fakultas Kedokteran Unpad Bandung, misalnya, memiliki dua jalur penerimaan mahasiswa kedokteran. Jalur reguler melalui SNMPTN dan SBMPTN dengan biaya kuliah per semester Rp 23 juta.
Bagi keluarga yang tidak mampu disediakan lima kluster pilihan uang kuliah tunggal (UKT) mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 13 juta/semester.
Untuk jalur mandiri, biayanya lebih mahal. UKT ditetapkan sama Rp 15 juta/semester ditambah biaya pengembangan Rp 250 juta yang harus dibayar saat diterima Unpad.
Fakultas kedokteran di universitas swasta lebih mahal lagi. Apalagi tidak mengenal jalur reguler. Di Universitas Islam Bandung (Unisba), untuk diterima jadi mahasiswa kedokteran setidaknya siapkan Rp 350 juta. Biaya semester semacam UKT ditetapkan Rp 150 juta.
Bagaimana dengan Universitas Pasundan (Unpas)? Semacam UKT ditetapkan Rp 25 juta/semester, dengan dana pengembangan yang harus dibayar di awal masuk Rp 200 juta.
Biaya sejenis UKT di Unjani (Universitas Jenderal Achmad Yani) juga mahal.
Itu baru fakultas kedokteran di area Bandung Raya. Di Jakarta dan Surabaya tentu lebih mahal lagi.
Hal itulah yang mendorong Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) minta pemerintah dan DPR melakukan revisi UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. (R-03)