BANDUNG, WR- Fenomena anak remaja Citayam harus dibaca sebagai kritik sosial. Salah satunya menyasar kepada eksistensi lembaga pendidikan.
Dan, hal itu harus dipandang sebagai masalah serius. Itulah telaah Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi terkait anak baru gede (ABG) dalam fenomena Citayam Fashion Week. Khususnya remaja putus sekolah dan menolak beasiswa.
“Jangan-jangan anak-anak ini tidak mau sekolah karena dianggap sekolah tidak memberikan masa depan sehingga mendingan mereka jadi tiktoker atau youtuber atau konten kreator yang lebih menjanjikan,” tutur Dede Yusuf di Jakarta, Senin (1/8/2022).
Alasan biaya, lanjut politikus Partai Demokrat ini, tidak bisa dijadikan alasan. Sebab, negara telah intervensi dengan beragam beasiswa dan pendanaan sehingga anak bisa sekolah hingga lulus SMA/sederajat.
“Ada 2 juta anak disediakan beasiswa PIP. Belum lagi KIP Kuliah,” tandas Dede. Bagi yang putus sekolah, tersedia juga program kesetaraan gratis mulai Paket A (setara lulus SD), Paket B (lulus SMP ), dan Paket C (lulus SMA).
Besaran beasiswa PIP (Program Indonesia Pintar) yakni Rp 450 untuk SD, Rp 750 ribu untuk SMP, dan Rp 1 juta untuk SMA. “Itu belum termasuk BOS. Setiap anak yang tercatat di lembaga pendidikan pada dasarnya sudah dibiayai lewat program BOS dari pemerintah,” ungkapnya.
Selaku mantan wakil gubernur Jabar, Dede juga meyakinkan bahwa banyak pemerintah daerah membuat pagar pengaman lain. Lewat program bantuan baik ke sekolah maupun keluarga miskin.
“Intinya jangan sampai anak putus sekolah. Negara telah mewajibkan wajib belajar 12 tahun alias lulus SMA,” tegas wakil rakyat dari dapil Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat ini.
Atas dasar itulah, aktor laga ini menyebut fenomena ABG Citayam sebagai hal serius. Kemunculan Bonge, Jeje, dan kawan-kawan di kasus tersebut harus disikapi mendalam.
Jangan cuma dibaca menolak beasiswa dan melanjutkan sekolah karena lebih asyik ngumpul-ngumpul di jalanan. Atau lebih fokus jadi selegram, tiktoker, atau youtube.
“Maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana caranya membuat pendidikan itu jauh lebih menarik. Sehingga tidak business as usual tapi benar-benar menjanjikan sebuah masa depan yang menjadi lebih kreatif,” jelas Dede. (R-03)