BANDUNG, WR- Dunia pendidikan Indonesia dinilai masih salah arah. Terutama dalam pembobotan yang menyebabkan siswa dan guru sama-sama tertekan.
“Murid masih saja jadi korban hapalan di sekolah,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR Dr Dede Yusuf Macan Effendi, ST, M. I. Pol., dalam Workshop Pendidikan di Hotel Bumi Makmur Indah Lembang, Bandung Barat (5/11/2022).
Hadir di acara tersebut Plt Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemdikbud Aswin Wihdiyanto, ST, MA. Sebagai pembicara tampil Drs Slamet Usman Ismanto, M. Si (Fisip Unpa) dan Dr Imam Tunggara (pemilik 42 sekolah di jaringan Yayasan LPPM).
Menurut Dede Yusuf, selama ini sekolah masih fokus pada proses hapalan. Tragisnya itu dilakukan sejak PAUD hingga SMA. “Anak dipaksa untuk hapal sampai tanggal berapa, hari dan jam, tahun berapa. Padahal, begitu masuk pasar kerja dan jalani kehidupan masyarakat hal tersebut tidak dipakai sama sekali,” ucap doktor Administrasi Publik jebolan Unpad ini.
Yang dipelajari adalah hapalan, saat ujian juga hapalan. Akibatnya banyak siswa masuk lembaga bimbingan belajar. “Di lembaga Bimbel yang dilatih adalah soal-soal ujian yang sifatnya hapalan lagi,” tegas wakil rakyat dari dapil Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat ini.
Politikus Partai Demokrat yang rajin kukurusukan temui pemilih ini minta penyelenggara pendidikan mengubah arah. Dimulai dari PAUD yang jangan lagi diajarkan calistung (baca tulis hitung).
“PAUD harus dibuat happy. Begitu juga di SD penekanan pada karakter. SMP baru belajar eksplorasi, sementara SMA menentukan orientasi mau jadi apa” ungkap Dede.
Yang tertekan dan salah arah, lanjut Dede, bukan hanya siswa. Guru pun demikian. Selama ini para guru lebih disibukkan dengan menyiapkan perangkat proses pembelajaran.
“Beban dan tugas administrasi membuat guru kehabisan waktu dibanding mendampingi para murid untuk berkembang secara sehat,” tegasnya.
Narasi dunia pendidikan harus segera diubah. Sekolah harus inklusif. Bukan saja memberi ruang bagi siswa disabilitas untuk belajar bersama. Tapi inklusifitas juga menerima semua siswa bagaimana adanya.
“Bagi saya, inklusif itu artinya juga menerima tanpa sekat yang berbeda warna kulit, etnis, agama, dan kepercayaan di sekolah yang sama. Pendekatannya sesuai konsep merdeka belajar,” ucap Dede Yusuf (R-03)