BANDUNG, WR- Anggaran pendidikan ditetapkan 20 persen dari APBN dan APBD. Kesannya besar tapi riilnya tidak seperti diperkirakan.
Begitulah penjelasan Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi dalam workshop pendidikan di Hotel Bumi Khatulistiwa Jatinangor, Sumedang (26/11/2022).
Kegiatan diselenggarakan Pusat Kurikulum Kemdikbud Ristek. Hadir para guru, kepala sekolah, dan aktivis pendidikan dari berbagai daerah di Kabupaten Bandung.
Menurut Dede Yusuf, lebih Rp 500 triliun anggaran pendidikan dialokasikan di APBN 2022. Masyarakat berpikir semuanya dikelola Kemdikbud Ristek.
“Itu salah. Lebih 300 triliun ditransfer ke daerah berupa dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK),” papar politikus Partai Demokrat ini.
Yang tersisa di pusat, kembali dibagi-bagi untuk kementerian dan lembaga lain. Sebagian besar diserap Kementerian Agama yang juga menyelenggarakan pendidikan madrasah.
Kemudian ada Universitas Pertahanan di bawah Kementerian Pertahanan. Kementerian Dalam Negeri juga mengelola IPDN. Hampir semua kementerian juga punya kampus termasuk pendidikan kepariwisataan di bawah Kemenparekraf.
“Tersisa sekitar 80 triliun di Kemdikbud Ristek dengan beban-beban tambahan dan penugasan khusus seperti beasiswa dan lain-lain,” papar Dede.
Menariknya, lanjut wakil rakyat dari dapil Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat ini, slot 20 persen anggaran pendidikan di daerah, justru mayoritas DAU dan DAK dari pusat.
“Diklaim oleh daerah sebagai anggaran pendidikan 20 persen. Padahal sebenarnya 80 persen dari transfer APBN ke daerah,” tandas doktor Administrasi Publik jebolan Unpad ini.
Selain problem anggaran, Dede menyebut ada persoalan lain yang jadi masalah akut dunia pendidikan Indonesia.
“Salah satunya kualitas dan kesejahteraan guru,” ucapnya. Bagaimana mungkin pendidikan berkualitas kalau banyak guru dapat honor Rp 300-500 ribu/bulan.
Pendapatan guru sangat jomplang dibanding butuh sekalipun. “UMK Kabupaten Bandung dan Sumedang saja sudah sekitar 3,2 juta.,” paparnya.
Untuk itulah, Komisi X DPR mendorong agar pemerintah mengangkat 1 juta guru jadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Baru terserap sekitar 400 ribu guru. Sisanya diharapkan bisa dituntaskan tahun depan dengan sejumlah penyesuaian.
Masalah berikut yang tidak pernah tuntas,kata Dede adalah kurikulum. Ada pemeo setiap ganti menteri selalu ganti kebijakan, termasuk kurikulum.
“Kurikulum 2013 belum beres muncul sebutan kurikulum darurat. Dan sekarang muncul lagi kurikulum prototipe atau kurikulum merdeka. Selalu saja begitu. Yang lama belum teruji hasilnya, muncul kebijakan baru,” jelas Dede. (R-03)