BANDUNG, WR- Kurikulum merdeka belajar yang dicetuskan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim terus bergulir. Banyak kajian dan bahasan dalam implementasinya.
Slah satunya dalam workshop pendidikan yang digelar di Bandung (10/12/2022). Acara yang difasilitasi Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi dan Ditjen GTK Kemdikbud Ristek itu, tampil dua pakar yang mengupas konsep merdeka belajar.
Mereka adalah Dr Asep Saepudin, M. Pd, kepala departemen Pendidikan Masyarakat UPI Bandung dan Dr Slamet Usman Ismanto dari prodi Administrasi Publik FISIP Unpad.
Tercatat 130 peserta dari kalangan guru dan komunitas pendidikan di Kabupaten Bandung.
“Sudah lama sekali ada kritik sekolah adalah penjara Sudah penjara, gurunya pikasebeleun, dan pelajarannya bikin stres murid,” ucap Asep Saepudin.
Kritik sekolah adalah penjara, papar Asep dilontarkan Paulo Freire dari Brazil. Kemudian filosof Austria Ivan Illich juga menyampaikan sekolah hanya buat murid terkekang di segala hal.
“Munculah Mendikbud dengan konsep merdeka belajar. Walau sebenarnya kajian soal itu sudah lama sekali,” katanya.
Pada 1969 sudah ada kajian yang menegaskan sekolah kita umumnya sangat tradisional, konservatif, birokratis, dan resisten terhadap perubahan.
“Ada kritik juga berada di sekolah tapi tidak belajar. In school but not learning. Mendingan tidak di sekolah tapi belajar,” tandas dosen berlatar aktivis ini.
Asep juga mengingatkan konsep Sunda soal cageur, bageur, bener, dan pinter. “Pintar itu terakhir. Sekarang ini banyak orang pintar, hebat tapi sombong. Gelar sampai tujuh tapi korupsi. Jenderal malah membunuh. Itu kan gak bener.,” katanya.
Mengukur kelulusan dari IQ juga dikritik Asep. Sudah bukan zamannya lagi seseorang diterima PNS, masuk perguruan tinggi, dan lolos sebuah pekerjaan dari kecerdasan intelektual (IQ). Mestinya bergeser dari kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Sementara itu, Slamet Usman Ismanto menyebut merdeka belajar dengan student center learning jangan terlalu dipaksakan. Sebab, murid tetap perlu diarahkan.
“Belajar berpusat pada murid itu susah. Di kampus saja tidak bisa. Tetap harus diarahkan, baca buku halaman sekian, bikin tugas, dan buat laporan. Peran guru tetap penting.,” katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengaku senang workshop diisi berbagai kajian teori dan konsep. Hal itu sangat bermanfaat bagi diri6dalam tugas-tugas di parlemen mengawasi kebijakan pendidikan di Indonesia. (R-03)