BANDUNG, WR- Upaya menggerakkan sektor pariwisata di daerah masih terganjal banyak hal. Minimnya anggaran dan miskin SDM selalu saja jadi alasan klise.
Kali ini ada “ilmu” baru dari Dwi Marhen Yono. Dia adalah direktur pemasaran pariwisata nusantara Kemenparekraf. Sebelumnya dia adalah direktur Badan Festival Kabupaten Banyuwangi. Kemudian Kadisparbud Pariaman, Sumbar.
“Pak Dede, dulu kami punya prinsip makannya 3A, sementara minumnya 3K,” ujar Dwi Marhen saat bimtek pemasaran pariwisata nusantara dan ekonomi kreatif melalui Smartphonegraphy di Mountain Breeze Banjaran, Kabupaten Bandung (18/3/2023).
Tiga A yang dimaksud Dwi Marhen adalah akses, amenitas, dan atraksi. Pola itu berhasil diterapkan Banyuwangi saat bupatinya dijabat Abdullah Azwar Anas.
Akses terkait sarana jalan, bandara, pelabuhan, dan transportasi menuju destinasi wisata. Sementara amenitas terkait ketersediaan akomodasi baik hotel, restoran, cafe, toko cinderamata, dan fasilitas umum seperti kesehatan, toilet, dan tempat ibadah.
“A ketiga yang biasanya kurang di daerah. Dulu di Banyuwangi saya bikin one cabor one event, one company one event, dan one dinas one event,” jelasnya.
Semua kegiatan sebagai atraksi budaya dan jadi paket wisata. Dengan begitu, sepanjang tahun penuh dengan kalender paket wisata. “Banyuwangi didatangi wisatawan sepanjang tahun baik nusantara maupun asing,” tandasnya.
Hal lucu sempat terjadi ketika Dinas Satpol PP dan Dinas Perpustakaan kesulitan bikin event yang jadi kalender wisata. “Setelah saya buka Dipa dinas tersebut, akhirnya bisa bikin festival yang pesertanya datang dari Satpol PP seluruh Indonesia. Begitu juga fwsti6di dinas perpustakaan,” tambahnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi melihat yang kurang dilakukan daerah umumnya kreativitas bikin atraksi. Oleh karena itu, Dede sangat support bila Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat bisa meniru 3A ala Dwi Marhen.
Dede tak malu ingin belajar 3K yang disampaikan direktur Kemenparekraf jebolan IPDN tersebut. “Saya senang dengan K ketiga, yaitu kere-aktif,” papar Dede. Keterbatasan anggaran mestinya jangan jadi alasan.
Dwi Marhen 3K yang jadi pedoman memajukan pariwisata adalah Komitmen (terutama dari CEO), Kreativitas dan inovasi, serta Kere-Aktif.
“Bupati atau walikota sejatinya CEO. Kami ASN adalah Korpri, korban perintah. Begitu CEO berkomitmen dan memutuskan, segalanya pasti jalan,” ungkap dia.
Yang tak kalah penting, lanjutnya, adalah Kere-Aktif. Tanpa sarana dan prasarana memadai, apalagi anggaran yang besar, mestinya setiap dinas bisa tetap aktif bikin kegiatan-kegiatan paket wisata.
“Kita menyebutnya Kere-Aktif, walaupun kere alias tidak punya fasilitas dan anggaran, tetap saja harus aktif,” jelas Dwi Marhen.
Dede Yusuf bersemangat dengan jiwa Kere-Aktif. Hal itulah yang kurang dimiliki ASN kita. Termasuk stakholders di dunia pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Sejatinya saya bisa seperti sekarang karena modal Kere-Aktif itu. Tidak mudah untuk menggapai tangga, pasti kita lewati dengan cucuran keringat,” jelas wakil rakyat dari dapil Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat ini.
Dede bisa memahami filosofi Kere-Aktif karena lima tahun pernah jadi wakil gubernur Jabar. Dia juga 10 tahun menjabat ketua Kwarda Pramuka Jabar.
“Tanpa anggaran dan fasilitas bisa kita bikin kegiatan-kegiatan monumental dengan ribuan peserta. Bisa raih rekor Muri segala,” tambahnya.
Di acara tersebut, hadir juga Tenaga Ahli Komisi X DPR Dr M Hailuki dan Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Bandung Saeful Bachri. Sementara pemateri tampil selegram belia dan content creator Rio Garlio. (R-03)