BANDUNG, WR- Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kembali menggelar BISA Fest di Kabupaten Bandung. Kali ini bertema kreasi seni tembang Sunda.
Acara digelar Saung Panyawungan, Sabtu (10/6/2023). Salah satu penampilan yang menyedot perhatian adalah seni beluk. Sebuah karya tradisi khas masyarakat Sunda yang hampir punah.
“Seni beluk disebut seni buhun, kuno. Itu sebenarnya belum tentu begitu,” jelas Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi.
Seni beluk menggabungkan narasi berupa kawih/tembang Sunda, alat musik kecapi dan suling, serta sedikit tarian. Praktis pintonan itu jarang hadir. Apalagi di era kekinian.
Dede menyebut seni beluk belum tentu kuno. Sebab, peradaban itu datang dan pergi silih berganti. “Setiap ribuan tahun akan hadir peradaban baru. Sebagaimana zaman digital seperti saat ini,” katanya.
Dia lantas bicara sejarah Sundaland. Sebuah peradaban yang disebut surga dunia di zamannya. Kala itu, teknologi dan budaya Sundaland begitu maju. Salah satu peninggalannya adalah situs Gunung Padang di Cianjur.
“Sunda itu bukan Jawa Barat atau Banten. Tapi sebuah peradaban yang di zamannya begitu maju,” jelas doktor Administrasi Publik jebolan Unpad ini.
Sundaland, sebagaimana temuan para ahli dan periset dunia, adalah kawasan yang saat ini kurang lebih meliputi Indonesia (minus Sulawesi, Maluku, dan Papua), daratan Malaysia, dan Indochina.
“Di zamannya Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan semenanjung Malaysia yang saat ini ada Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos termasuk ke dalam Sundaland,” papar Dede.
Jawa dan Kalimantan, contohnya, cuma dipisahkan lautan yang dangkal. Awalnya menyatu. “Karena bencana katastropik seperti banjir dalam cerita Nabi Nuh, Jawa dan Kalimantan jadi terpisah,” tandasnya.
Sebuah peradaban dunia punah, lanjut Dede, biasanya karena bencana katastropik, perang, dan wabah. Potensi itu bisa hadir jika Rusia meledakkan nuklir yang dibalas nuklir oleh NATO.
Dede lantas cerita, Sunda juga tidak hanya seni tradisi seperti bahasa, tarian, nyanyian, dan produk kesenian. Di luar itu, ada filosofi kehidupan yang sejatinya abadi.
Dia lalu cerita filosofi gawir awian, lebak caian, talun parean, dan gunung kaian. “Gawir atau tebing tanami awi atau bambu. Itu filosofi yang dalam karena menahan longsor dan jadi sumber cadangan air,” tegasnya.
Begitu juga dengan lembah yang harus dibuat kolam (caian). Jadi sumber ekonomi dan penghidupan. Lembah terawat dengan adanya situ, kolam, dan rawa. “Dijamin tidak ada kesulitan air saat kemarau,” paparnya.
Talun atau tanah daratan ditanami padi. Kemudian gunung tetap rimbun dengan pepohonan. Ditanami pohon (kaian). “Pasti tidak ada gunung gundul yang berakibat banjir,” jelas Dede.
Dede sangat fasih bicara sejarah dan filsafat Sunda. “Ini sebenarnya tidak cocok saya bicara di acara pemerintahan. Ini pasti bawaan baju nih,” selorohnya.
Di tengah acara, Dede awalnya menerima cinderamata baju pangsi bergambar maung/macan. Baju itu diserahkan Cuncun A Handayan, kepala bidang kebudayaan Disbudpar Kabupaten Bandung. Baju itu langsung dipakai Dede.
Hadir juga Titik Wahyuni, analis kebijakan madya dari Kemenparekraf. Kemudian Dr M Hailuki, tenaga ahli Komisi X DPR. Berikutnya Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Bandung Saeful Bachri.
“Waktu kecil saya sering diejek karena nama saya Macan. Tidak ada yang tahu nama Macan ternyata jadi berkah,” ungkap Dede.
Cuncun A Handayan sempat berkilah macan atau maung sebenarnya dalam artinya. Bukan hanya menyebut si raja hutan. “Maung, manusia unggulan,” katanya. (R-03)