BANDUNG, WR- Kekerasan di lingkungan sekolah terus memicu perdebatan. Beragam kajian dikemukakan. Termasuk soal pelibatan aparat penegak hukum (APH).
“Jika masih belum tertangani juga, bisa diserahkan, referal atau alih tangan ke aparat hukum. Jangan memaksakan jika tidak bisa ditangani sendiri,” ujar Dr Ipah Saripah, pakar bimbingan dan konseling (BK) dalam workshop pendidikan di Hotel Puri Khatulistiwa, Jatinangor, Sumedang (14/10/2024).
Kegiatan tersebut diselenggarakan Kemendikbud Ristek bekerja sama dengan Komisi X DPR RI. Hadir Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf Macan Effendi dan sejumlah narasumber.
Seorang peserta workshop bertanya bagaimana jika ada anak melapor tindakan bullying atau kekerasan. “Ini sangat baik, harus diapresiasi. Sebab anak umumnya tidak berani melapor. Orang yang tahu tapi tidak melapor pada dasarnya adalah pelaku,” kata Ipah Saripah.
Menurut staf pengajar UPI Bandung ini, ada perbedaan antara bullying dan kekerasan. Bullying dilakukan oleh teman sebaya. Sementara kekerasan dilakukan oleh yang lebih tua atau sebaliknya.
“Jika ada laporan bullying atau kekerasan, guru dan kepala sekolah harus segera menangani,” katanya. Jika tidak tertangani, bisa diserahkan ke guru BK.
“Bila guru BK tidak berhasil menangani, bisa dirujuk ke praktisi seperti psikolog atau psikiater. Jika terkait kekerasan dan ada implikasi hukum, jangan ragu referal ke aparat hukum,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi minta Permendikbud Ristek diubah. Komposisi Satgas penanganan perundungan, kekerasan, dan intoleransi harus memasukkan unsur APH.
“Jadi bukan mengganti guru BK. Bukan. Saya minta memasukan unsur APH di Satgas,” tegas Dede Yusuf. “Jangankan Permendikbud, undang-undang saja bisa diubah,” lanjut politikus senior Partai Demokrat ini.
Dede menyebut banyak keluhan guru dan kepala sekolah. Mereka mengadu karena penerapan disiplin kepada siswa sering berakhir gugatan hukum kepada guru dan kepala sekolah.
“Yang ditegur anak SD, yang datang ke sekolah orang tuanya dengan mengancam bikin laporan polisi,” kata Dede.
Ada lagi. Perbuatan si anak tidak bisa ditoleransi lagi sehingga dikeluarkan dari sekolah. “Besoknya sekolah digeruduk ormas,” ucap doktor Administrasi Publik jebolan Unpad ini.
Sering juga, guru dan kepala sekolah angkat tangan. Termasuk guru BK karena merasa tidak terlindungi secara hukum. “Begitu ada anak bermasalah, guru dan kepala sekolah tidak mau menindak sebelum hadir dari kepolisian,” ungkap Dede Yusuf.
Atas dasar itulah, Dede mendesak Permendikbud No 46/2023 untuk diubah. Satgas yang dibentuk Pemprov dan Pemda Kab/Kota diminta memasukkan unsur APH.
Begitu juga tim penanganan dan penanganan kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan, bisa ada unsur APH. Saat ini, TPPK hanya unsur guru, komite, orang tua.
“Negara harus hadir dalam kondisi darurat ini. Polisi RW saja dibentuk, mengapa untuk urusan generasi muda bangsa ini tidak dilakukan,” ucapnya. (R-03)